Selasa, 23 Juni 2009

Polemik Pengenaan PPN dalam Pembiayaan Murabahah

Jasa perbankan sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000 merupakan salah satu jasa yang tidak menjadi obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, ketika ketentuan ini diterapkan pada pembiayaan murabahah yang menjadi produk unggulan perbankan syariah, terjadi perbedaan pandangan di antara pihak-pihak yang terkait. Terutama dalam hal ini adalah Direktorat jenderal pajak Departemen Keuangan RI dan industri perbankan syariah. Menurut Direktorat Jenderal Pajak
pembiayaan murabahah harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai karena prinsip akad atau transaksi yang melandasi pembiayaan ini adalah jual beli. Sedangkan menurut para praktisi perbankan termasuk pihak Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas tertinggi perbankan di Indonesia, menilai bahwa pembiayaan murabahah merupakan salah satu jasa perbankan syariah yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana produk pembiayaan atau kredit di bank konvensional. Ini karena bank syariah sebagaimana bank konvensional adalah hanya berfungsi sebagai lembaga intermediary keuangan.
Polemik tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada pembiayaan murabahah di perbankan syariah ini mengemuka sejak Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat Edaran No. 243/PJ.53/2003, tanggal 10 Maret 2003 dan S-1071/PJ.53/2003, tanggal 4 September 2003 yang menyatakan bahwa kegiatan jual beli murabahah oleh perbankan syariah tidak termasuk jenis jasa di bidang perbankan yang dikecualikan dari PPN5 , karena murabahah dilakukan berdasarkan prinsip jual beli, sehingga atas penyerahan barang tersebut dari bank kepada nasabah merupakan penyerahan barang kena pajak yang terhutang Pajak Pertambahan Nilai.
Ketentuan dalam surat Dirjen Pajak tersebut berbeda dengan surat yang pernah dikeluarkan Dirjen Pajak sebelumnya, pada tahun 1992, yang menyatakan bahwa pembiayaan murabahah merupakan salah satu pembiayaan perbankan syariah yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Berkaitan dengan hal ini mantan direktur utama Bank Muamalat Indonesia (BMI) A. Riawan Amin menyatakan bahwa pada saat awal berdirinya Bank Muamalat Indonesia, Departemen Keuangan pernah menerbitkan surat bernomor S-103/PJ.3/1992, yang salah satu isinya pengecualian PPN atas murabahah. Dalam surat tertanggal 12 Mei 1992 itu, salah satu butirnya menyebutkan penyaluran Barang Kena Pajak (BKP) dari pemasok pada BMI dalam rangka penyaluran dana BMI berbentuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi, tak dianggap sebagai penyerahan kena pajak, karena itu tak terutang PPN.
Polemik tentang PPN pada pembiayaan murabahah ini bertambah panas ketika Direktorat Jenderal Pajak memeriksa tahun pajak 2003 Bank Syariah Mandiri (BSM) dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN No.00032/207/03/073/04 tanggal 13 Desember 2004 sebesar Rp25,5 miliar atas PPN murabahah. Ditjen Pajak selanjutnya menerbitkan keputusan penolakan atas keberatan BSM pada 1 Desember 2005 tentang Keberatan Surat Ketetapan Pajak PPN. Sebagai reaksi atas kebjakan Direktorat Jenderal Pajak tersebut, Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia dan juga Bank Indonesia pada tahun 2005 pernah mengajukan surat permohonan agar Direktorat Jenderal Pajak tidak mengenakan PPN atas pembiayaan Murabahah dan agar Direktorat Jenderal pajak menyampaikan Surat Edaran kepada Kantor Pelayanan Pajak untuk tidak mengenakan PPN atas semua transaksi murabahah. Surat ini kemudian di balas dengan surat Direktur Jenderal Pajak No. S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Pebruari 2006 yang isinya menegaskan bahwa permohonan pembebasan PPN atas transaksi murabahah tidak dapat dipenuhi.

0 komentar: