Dari gambaran diatas seolah nampak bahwa ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi ideal yang sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat Muslim.
Hal ini bisa dilihat dari betapa susahnya untuk menjadi orang yang jujur, amanah dan tabligh di Indonesia. Budaya menipu, oportunis, dan tertutup bisa membuat orang-orang yang jujur dan amanah tidak mendapatkan tempat pada masyarakat dan hal ini bisa berakibat pada malasnya orang untuk memegang etika-etika Islam. Disisi lain, ajaran Islam yang mengajak untuk tidak individualistik bisa menimbulkan kecenderungan orang untuk mengatasnamakan agama (kepentingan sosial) untuk kepentingan pribadinya. Oleh karena itu untuk memulai diimplementasikannya ekonomi Islam secara lebih efektif harus dipertimbangkan kondisi sosial budaya dan politik serta sejarah peradaban umat Islam. Pada sisi yang lain perlu adanya upaya bersama untuk mewujudkan budaya dan struktur sosial dan politik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam
Secara ringkas, para ulama mencoba memahami ekonomi Islam sebagai suatu teori dan praktek ekonomi yang memiliki konsep seperti berikut:
(1) menghindari segala transaksi yang mengandung dengan riba(bunga), maysir (judi) dan gharar (spekulasi),
(2) menghindari dilakukannya peningkatan kesejahteraan seseorang dengan cara yang bathil atau merugikan orang lain,
(3) menekankan pada aspek keadilan daripada efisiensi
(4) tidak melakukan investasi dan transaksi pada produk-produk yang dilarang, dan
(5) berupaya mewujudkan kesejahtaraan sosial yang didukung oleh zakat dan amal sholeh lainnya.
Hal tersebut menurut M Naqvi harus diperkuat dengan adanya empat etika dasar yang perlu diimplementasikan dalam perekonomian, yakni :
(1)Tauhid, dimana seseorang adalah merupakan wakil Allah di muka bumi sehingga segala sikap dan perilakunya harus sesuai dengan petunjuk Allah (QS 6:162). Segala sesuatu yang suda secara jelas diungkapkan oleh Quran dan/atau Sunnah adalah merupakan hal yang terbaik bagi umat manusia dan tidak perlu ditawar-tawar lagi, seperti larangan riba, mencuri, judi, menimbun, makan babi dan bangkai, dan sebagainya. Dalam hal ini, penjelasan Nash dapat dikagorikan menjadi dua, yaitu penjelasan mengenai zat dan mengenai proses dan aktivitas, namun keduanya tidak dapat dilaksanakan secara terpisah.
(2)Ihtiyar atau kebebasan setiap orang untuk memilih sesuatu yang terbaik tanpa merugikan pihak lain (QS 10:108, 13:11). Misalnya perlunya akad suka sama suka dalam menentukan porsi bagi-hasil.
(3) Fardh atau bertanggung jawab, baik kepada Allah, diri sendiri atau kepada yang lain. Kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hasil kerja orang lain, nenek moyang kita dan sebatas kemampuan fisik dan finansial kita (QS 6:164, 2:134).
(4)Al-‘adl wal ihsan atau adanya keseimbangan dan keadilan (QS 16:90). Alokasi yang efisien tidak boleh berdampak pada kesenjangan yang lebih tinggi.
Selasa, 23 Juni 2009
Konsep Dasar Ekonomi Islam Menurut Ulama
Diposting oleh doel_kcv@bloger di 06.15
Label: konsep Ekonomi Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar