Selasa, 23 Juni 2009

Konsep Dasar Ekonomi Islam Menurut Ulama

Dari gambaran diatas seolah nampak bahwa ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi ideal yang sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat Muslim.
Hal ini bisa dilihat dari betapa susahnya untuk menjadi orang yang jujur, amanah dan tabligh di Indonesia. Budaya menipu, oportunis, dan tertutup bisa membuat orang-orang yang jujur dan amanah tidak mendapatkan tempat pada masyarakat dan hal ini bisa berakibat pada malasnya orang untuk memegang etika-etika Islam. Disisi lain, ajaran Islam yang mengajak untuk tidak individualistik bisa menimbulkan kecenderungan orang untuk mengatasnamakan agama (kepentingan sosial) untuk kepentingan pribadinya. Oleh karena itu untuk memulai diimplementasikannya ekonomi Islam secara lebih efektif harus dipertimbangkan kondisi sosial budaya dan politik serta sejarah peradaban umat Islam. Pada sisi yang lain perlu adanya upaya bersama untuk mewujudkan budaya dan struktur sosial dan politik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam 
Secara ringkas, para ulama mencoba memahami ekonomi Islam sebagai suatu teori dan praktek ekonomi yang memiliki konsep seperti berikut:
(1) menghindari segala transaksi yang mengandung dengan riba(bunga), maysir (judi) dan gharar (spekulasi), 
(2) menghindari dilakukannya peningkatan kesejahteraan seseorang dengan cara yang bathil atau merugikan orang lain, 
(3) menekankan pada aspek keadilan daripada efisiensi 
(4) tidak melakukan investasi dan transaksi pada produk-produk yang dilarang, dan 
(5) berupaya mewujudkan kesejahtaraan sosial yang didukung oleh zakat dan amal sholeh lainnya.

Hal tersebut menurut M Naqvi harus diperkuat dengan adanya empat etika dasar yang perlu diimplementasikan dalam perekonomian, yakni :
(1)Tauhid, dimana seseorang adalah merupakan wakil Allah di muka bumi sehingga segala sikap dan perilakunya harus sesuai dengan petunjuk Allah (QS 6:162). Segala sesuatu yang suda secara jelas diungkapkan oleh Quran dan/atau Sunnah adalah merupakan hal yang terbaik bagi umat manusia dan tidak perlu ditawar-tawar lagi, seperti larangan riba, mencuri, judi, menimbun, makan babi dan bangkai, dan sebagainya. Dalam hal ini, penjelasan Nash dapat dikagorikan menjadi dua, yaitu penjelasan mengenai zat dan mengenai proses dan aktivitas, namun keduanya tidak dapat dilaksanakan secara terpisah.
(2)Ihtiyar atau kebebasan setiap orang untuk memilih sesuatu yang terbaik tanpa merugikan pihak lain (QS 10:108, 13:11). Misalnya perlunya akad suka sama suka dalam menentukan porsi bagi-hasil. 
(3) Fardh atau bertanggung jawab, baik kepada Allah, diri sendiri atau kepada yang lain. Kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hasil kerja orang lain, nenek moyang kita dan sebatas kemampuan fisik dan finansial kita (QS 6:164, 2:134).
(4)Al-‘adl wal ihsan atau adanya keseimbangan dan keadilan (QS 16:90). Alokasi yang efisien tidak boleh berdampak pada kesenjangan yang lebih tinggi.

Konsep Dasar Ekonomi Islam Menurut Ulama

Dari gambaran diatas seolah nampak bahwa ekonomi Islam adalah suatu sistem ekonomi ideal yang sulit untuk diwujudkan dalam masyarakat Muslim.
Hal ini bisa dilihat dari betapa susahnya untuk menjadi orang yang jujur, amanah dan tabligh di Indonesia. Budaya menipu, oportunis, dan tertutup bisa membuat orang-orang yang jujur dan amanah tidak mendapatkan tempat pada masyarakat dan hal ini bisa berakibat pada malasnya orang untuk memegang etika-etika Islam. Disisi lain, ajaran Islam yang mengajak untuk tidak individualistik bisa menimbulkan kecenderungan orang untuk mengatasnamakan agama (kepentingan sosial) untuk kepentingan pribadinya. Oleh karena itu untuk memulai diimplementasikannya ekonomi Islam secara lebih efektif harus dipertimbangkan kondisi sosial budaya dan politik serta sejarah peradaban umat Islam. Pada sisi yang lain perlu adanya upaya bersama untuk mewujudkan budaya dan struktur sosial dan politik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam 
Secara ringkas, para ulama mencoba memahami ekonomi Islam sebagai suatu teori dan praktek ekonomi yang memiliki konsep seperti berikut:
(1) menghindari segala transaksi yang mengandung dengan riba(bunga), maysir (judi) dan gharar (spekulasi), 
(2) menghindari dilakukannya peningkatan kesejahteraan seseorang dengan cara yang bathil atau merugikan orang lain, 
(3) menekankan pada aspek keadilan daripada efisiensi 
(4) tidak melakukan investasi dan transaksi pada produk-produk yang dilarang, dan 
(5) berupaya mewujudkan kesejahtaraan sosial yang didukung oleh zakat dan amal sholeh lainnya.

Hal tersebut menurut M Naqvi harus diperkuat dengan adanya empat etika dasar yang perlu diimplementasikan dalam perekonomian, yakni :
(1)Tauhid, dimana seseorang adalah merupakan wakil Allah di muka bumi sehingga segala sikap dan perilakunya harus sesuai dengan petunjuk Allah (QS 6:162). Segala sesuatu yang suda secara jelas diungkapkan oleh Quran dan/atau Sunnah adalah merupakan hal yang terbaik bagi umat manusia dan tidak perlu ditawar-tawar lagi, seperti larangan riba, mencuri, judi, menimbun, makan babi dan bangkai, dan sebagainya. Dalam hal ini, penjelasan Nash dapat dikagorikan menjadi dua, yaitu penjelasan mengenai zat dan mengenai proses dan aktivitas, namun keduanya tidak dapat dilaksanakan secara terpisah.
(2)Ihtiyar atau kebebasan setiap orang untuk memilih sesuatu yang terbaik tanpa merugikan pihak lain (QS 10:108, 13:11). Misalnya perlunya akad suka sama suka dalam menentukan porsi bagi-hasil. 
(3) Fardh atau bertanggung jawab, baik kepada Allah, diri sendiri atau kepada yang lain. Kita tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas hasil kerja orang lain, nenek moyang kita dan sebatas kemampuan fisik dan finansial kita (QS 6:164, 2:134).
(4)Al-‘adl wal ihsan atau adanya keseimbangan dan keadilan (QS 16:90). Alokasi yang efisien tidak boleh berdampak pada kesenjangan yang lebih tinggi.

Pengertian, Jenis, dan Model Multi Akad

Multi dalam bahasa Indonesia berarti (1) banyak; lebih dari satu; lebih dari dua; (2) berlipat ganda. Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau akad yang banyak, lebih dari satu. Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan terjemahan dari kata Arab yaitu al-’uqûd al-murakkabah yang berarti akad ganda (rangkap). Al-’uqûd al-murakkabah terdiri dari dua kata al-’uqûd (bentuk jamak dari ‘aqd) dan al- murakkabah. Kata ‘aqd artinya perikatan antara kedua belah pihak atau lebih. Sedangkan kata Al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti al-jam’u, yakni mengumpulkan atau menghimpun. Kata murakkab sendiri berasal dari kata "rakkaba-yurakkibu-tarkiban" yang mengandung arti meletakkan sesuatu pada sesuatu yang lain sehingga menumpuk, ada yang di atas dan yang di bawah.
Sedangkan murakkab menurut pengertian para ulama fikih adalah sebagai berikut:
1. Himpunan beberapa hal sehingga disebut dengan satu nama. Seseorang menjadikan beberapa hal menjadi satu hal (satu nama) dikatakan sebagai melakukan penggabungan (tarkîb).
2. Sesuatu yang dibuat dari dua atau beberapa bagian, sebagai kebalikandari sesuatu yang sederhana (tunggal/basîth) yang tidak memiliki bagian-bagian.
3. Meletakkan sesuatu di atas sesuatu lain atau menggabungkan sesuatu dengan yang lainnya.
Ketiga pengertian ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing untuk menjelaskan makna persis dari istilah murakkab. Pengertian pertama lebih tepat untuk digunakan karena mengandung dua hal sekaligus, yaitu terhimpunnya beberapa hal dan bersatunya beberapa hal itu yang kemudian menjadi satu pengertian tertentu.
Pengertian kedua tidak menjelaskan akibat dari terhimpunnya beberapa hal itu. Meski pengertian kedua menyatakan adanya gabungan dua atau beberapa hal, tetapi tidak menjelaskan apa dan bagaimana setelah terjadi penggabungan tersebut. Pengertian terakhir lebih dekat kepada pengertian etimologis, tidak menjelaskan pengertian untuk suatu istilah tertentu.
Dengan demikian pengertian pertama lebih dekat dan pas untuk menjelaskan maksud al-’uqûd al-murakkabah dalam konteks fikih muamalah. Karena itu, akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah:
"Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua
akad atau lebih --seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara'ah, sahraf (penukaran mata uang), syirkah, mudharabah … dst.-- sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad."
Sedangkan menurut Al-‘Imrani akad murakkab adalah:
"Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad --baik secara gabungan maupun secara timbal balik-- sehingga seluruh hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad."
Selain istilah akad murakkab, ada beberapa istilah lain yang digunakan ahli fikih yang memiliki hubungan, kemiripan, dan kesamaan dengan pengertian akad murakkab. Istilah-istilah itu antara lain al-’uqûd al-mujtami’ah, al-’uqûd al- muta’addidah, al-’uqûd al-mutakarrirah, al-’uqûd al-mutadâkhilah, al-’uqûd al- mukhtalithah. Berikut adalah penjelasan pengertian dari beberapa istilah yang mirip dengan murakkab ini.
1. Al-ijtimâ’; kata ini mengandung arti terhimpun atau terkumpul, lawan dari terpisah. Sesuatu yang terhimpun dari beberapa bagian meski tidak menjadi satu bagian adalah arti dari kata ijtima’. Dengan begitu al-’uqûd al-mujtami’ah berarti terhimpunnya dua akad atau lebih dalam satu akad.
2. Al-Ta'addud. Kata ta'addud berarti berbilang dan bertambah. Ta'addud dalam terminologi akad adalah adanya tambahan jumlah syarat, akad, pelaku, harga, objek, atau sejenisnya.
3. Al-tikrâr. Al-tikrâr berarti berulang. Kata ini digunakan untuk menunjukkan adanya proses terhimpun atau terulangnya sesuatu. Sedangkan secara terminology Al-tikrâr diartikan sebagai mengulangi sesuatu yang telah dilakukan. Dalam hal akad Al-tikrâr berarti mengulangi akad yang telah dilakukan sebelumnya. Bedanya dengan murakkab dalam akad, kalau Al-tikrâr meski berarti pula mengumpulkan tetapi maksud yang paling tetap untuk istilah ini adalah mengulangi akad yang sudah dilakukan dalam beberapa transaksi. Sedangkan dalam murakkab yang terjadi adalah terhimpunnya dua akad atau lebih menjadi satu akad atau transaksi.
4. Al-tadâkhul. Al-tadâkhul secara bahasa berarti masuk (al-wulûj), masuknya sesuatu pada sesuatu yang lain, keserupaan beberapa hal dan dan saling meliputi. Al-tadâkhul juga berarti masuknya suatu bagian pada bagian yang lain. Arti terakhir ini lebih spesifik karena yang masuk adalah suatu bagian pada bagian yang lainnya, sedangkan pengertian pertama lebih luas karena mencakup masuknya sesuatu pada sesuatu yang lain. Sesuatu itu dapat berupa bagian atau suatu yang utuh.
5. Al-Ikhtilath. Kata ini memiliki makna yang sama dengan al-jam’u. Al-Ikhtilath berarti terhimpun, terkumpul, insert (tadâkhul), dan melebur. Seperti contoh seseorang mencampurkan sesuatu pada yang lain, maka keduanya tercampur atau terkumpul. Tercampurnya dua hal itu bisa berakibat melebur menjadi satu sehingga kedua hal itu tidak bisa dibedakan seperti tercampurnya barang-barang cair, dan bisa juga dibedakan seperti dikumpulkannya suatu hewan dengan hewan yang lain.

Polemik Pengenaan PPN dalam Pembiayaan Murabahah

Jasa perbankan sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir dengan UU No. 18 Tahun 2000 merupakan salah satu jasa yang tidak menjadi obyek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Namun, ketika ketentuan ini diterapkan pada pembiayaan murabahah yang menjadi produk unggulan perbankan syariah, terjadi perbedaan pandangan di antara pihak-pihak yang terkait. Terutama dalam hal ini adalah Direktorat jenderal pajak Departemen Keuangan RI dan industri perbankan syariah. Menurut Direktorat Jenderal Pajak
pembiayaan murabahah harus dikenakan Pajak Pertambahan Nilai karena prinsip akad atau transaksi yang melandasi pembiayaan ini adalah jual beli. Sedangkan menurut para praktisi perbankan termasuk pihak Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas tertinggi perbankan di Indonesia, menilai bahwa pembiayaan murabahah merupakan salah satu jasa perbankan syariah yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana produk pembiayaan atau kredit di bank konvensional. Ini karena bank syariah sebagaimana bank konvensional adalah hanya berfungsi sebagai lembaga intermediary keuangan.
Polemik tentang pengenaan Pajak Pertambahan Nilai pada pembiayaan murabahah di perbankan syariah ini mengemuka sejak Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat Edaran No. 243/PJ.53/2003, tanggal 10 Maret 2003 dan S-1071/PJ.53/2003, tanggal 4 September 2003 yang menyatakan bahwa kegiatan jual beli murabahah oleh perbankan syariah tidak termasuk jenis jasa di bidang perbankan yang dikecualikan dari PPN5 , karena murabahah dilakukan berdasarkan prinsip jual beli, sehingga atas penyerahan barang tersebut dari bank kepada nasabah merupakan penyerahan barang kena pajak yang terhutang Pajak Pertambahan Nilai.
Ketentuan dalam surat Dirjen Pajak tersebut berbeda dengan surat yang pernah dikeluarkan Dirjen Pajak sebelumnya, pada tahun 1992, yang menyatakan bahwa pembiayaan murabahah merupakan salah satu pembiayaan perbankan syariah yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Berkaitan dengan hal ini mantan direktur utama Bank Muamalat Indonesia (BMI) A. Riawan Amin menyatakan bahwa pada saat awal berdirinya Bank Muamalat Indonesia, Departemen Keuangan pernah menerbitkan surat bernomor S-103/PJ.3/1992, yang salah satu isinya pengecualian PPN atas murabahah. Dalam surat tertanggal 12 Mei 1992 itu, salah satu butirnya menyebutkan penyaluran Barang Kena Pajak (BKP) dari pemasok pada BMI dalam rangka penyaluran dana BMI berbentuk pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi, tak dianggap sebagai penyerahan kena pajak, karena itu tak terutang PPN.
Polemik tentang PPN pada pembiayaan murabahah ini bertambah panas ketika Direktorat Jenderal Pajak memeriksa tahun pajak 2003 Bank Syariah Mandiri (BSM) dan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) PPN No.00032/207/03/073/04 tanggal 13 Desember 2004 sebesar Rp25,5 miliar atas PPN murabahah. Ditjen Pajak selanjutnya menerbitkan keputusan penolakan atas keberatan BSM pada 1 Desember 2005 tentang Keberatan Surat Ketetapan Pajak PPN. Sebagai reaksi atas kebjakan Direktorat Jenderal Pajak tersebut, Asosiasi Perbankan Syariah Indonesia dan juga Bank Indonesia pada tahun 2005 pernah mengajukan surat permohonan agar Direktorat Jenderal Pajak tidak mengenakan PPN atas pembiayaan Murabahah dan agar Direktorat Jenderal pajak menyampaikan Surat Edaran kepada Kantor Pelayanan Pajak untuk tidak mengenakan PPN atas semua transaksi murabahah. Surat ini kemudian di balas dengan surat Direktur Jenderal Pajak No. S-65/PJ.53/2006 tanggal 7 Pebruari 2006 yang isinya menegaskan bahwa permohonan pembebasan PPN atas transaksi murabahah tidak dapat dipenuhi.

Kamis, 18 Juni 2009

Musyarakah Mutanaqishah

Musyarakah mutanaqishah merupakan produk turunan dari akad musyarakah, yang merupakan bentuk akad kerjasama antara dua pihak atau lebih. Kata dasar dari musyarakah adalah syirkah yang berasal dari kata syaraka-yusyriku- syarkan-syarikan-syirkatan (syirkah), yang berarti kerjasama, perusahaan atau kelompok/kumpulan. Musyarakah atau syirkah adalah merupakan kerjasama antara modal dan keuntungan. Sementara mutanaqishah berasal dari kata yatanaqishu-tanaqish-tanaqishan-mutanaqishun yang berarti mengurangi secara bertahap.

Musyarakah mutanaqishah (diminishing partnership) adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu barang atau asset. Dimana kerjasama ini akan mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak sementara pihak yang lain bertambah hak kepemilikannya. Perpindahan kepemilikan ini melalui mekanisme pembayaran atas hak kepemilikan yang lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain.

Implementasi dalam operasional perbankan syariah adalah merupakan kerjasama antara bank syariah dengan nasabah untuk pengadaan atau pembelian suatu barang (benda). Dimana asset barang tersebut jadi milik bersama. Adapun besaran

kepemilikan dapat ditentukan sesuai dengan sejumlah modal atau dana yang disertakan dalam kontrak kerjasama tersebut. Selanjutnya nasabah akan membayar (mengangsur) sejumlah modal/dana yang dimiliki oleh bank syariah. Perpindahan kepemilikan dari porsi bank syariah kepada nasabah seiring dengan bertambahnya jumlah modal nasabah dari pertambahan angsuran yang dilakukan nasabah. Hingga angsuran berakhir berarti kepemilikan suatu barang atau benda tersebut sepenuhnya menjadi milik nasabah. Penurunan porsi kepemilikan bank syariah terhadap barang atau benda berkurang secara proporsional sesuai dengan besarnya angsuran.

Selain sejumlah angsuran yang harus dilakukan nasabah untuk mengambil alih kepemilikan, nasabah harus membayar sejumlah sewa kepada bank syariah hinggaberakhirnya batas kepemilikan bank syariah. Pembayaran sewa dilakukan bersamaan dengan pembayaran angsuran. Pembayaran angsuran merupakan bentuk pengambilalihan porsi kepemilikan bank syariah. Sedangkan pembayaran sewa adalah bentuk keuntungan (fee) bagi bank syariah atas kepemilikannya terhadap aset tersebut. Pembayaran sewa merupakan bentuk kompensasi kepemilikan dan kompensasi jasa bank syariah.

Ketentuan Pokok Musyarakah Mutanaqishah

Di dalam musyarakah mutanaqishah terdapat unsur kerjasama (syirkah) dan unsur sewa (ijarah). Kerjasama dilakukan dalam hal penyertaan modal atau dana dan kerjasama kepemilikan. Sementara sewa merupakan kompensasi yang diberikan salah satu pihak kepada pihak lain. Ketentuan pokok yang terdapat dalam musyarakah mutanaqishah merupakan ketentuan pokok kedua unsur tersebut.

Berkaitan dengan syirkah, keberadaan pihak yang bekerjasama dan pokok modal, sebagai obyek akad syirkah, dan shighat (ucapan perjanjian atau kesepakatan) merupakan ketentuan yang harus terpenuhi. Sebagai syarat dari pelaksanaan akad syirkah [1] masing-masing pihak harus menunjukkan kesepakatan dan kerelaan untuk saling bekerjasama, [2] antar pihak harus saling memberikan rasa percaya dengan yang lain, dan [3] dalam pencampuran pokok modal merupakan pencampuran hak masing-masing dalam kepemilikan obyek akad tersebut.

Sementara berkaitan dengan unsure sewa ketentuan pokoknya meliputi; penyewa (musta’jir)dan yang menyewakan (mu’jir), shighat (ucapan kesepakatan), ujrah (fee), dan barang/benda yang disewakan yang menjadi obyek akad sewa. Besaran sewa harus jelas dan dapat diketahui kedua pihak.

Dalam syirkah mutanaqishah harus jelas besaran angsuran dan besaran sewa yang harus dibayar nasabah. Dan, ketentuan batasan waktu pembayaran menjadi syarat yang harus diketahui kedua belah pihak. Harga sewa, besar kecilnya harga sewa, dapat berubah sesuai kesepakatan. Dalam kurun waktu tertentu besar-kecilnya sewa dapat dilakukan kesepakatan ulang.

Rabu, 17 Juni 2009

PANDANGAN ISLAM TENTANG MASALAH EKONOMI

Menururt Islam, masalah ekonomi bukan disebabkan oleh kelangkaan sumber-sumber material ataupun terbatasnya kekayaan alam. Benar bahwa sumber-sumber produksi terbatas, sementara kebutuhan manusia banyak dan beragam. Memanh benar, masyarakat impian dapat menikmati sumber-sumber yang terbatas, terbatas dari kesulitan-kesulitan ekonomi. Tidak ada orang miskin, setiap orang dapat memnuhi segala kebutuhannya.

Namun, ini tidak berarti bahwa masalah ekonomi yang dihadapi oleh kemanusiaan muncul akibat ketiadaan masyarakat impian itu. Dikatakan bahwa masalah ekonomi muncul karena hal itu, lebih merupakan semacam penghindaran terhadap penyebab sebenarnya yang ada solusinya, dengan menyuguhkan penyebab imajiner yang tidak ada solusinya, dengan menyuguhnkan penyebab iamnjiner yang tidak ada solusinya. Ini juga hanya menjadi justifikasi bagi apa yang dianggap sebagai solusi, yakni peningkatan kekayaan, yang pada gilirannya malah akan mengarah kepada pembentukan system ekonomi dalam kerangka masalah ekonomi. Inilah yang dilakukan kapitalisme dengan menyuguhkan penyebab imajiner bagi masalah ekonomi. Seolah-olah selama pemanfaatan alam tidak optimal atau alam tidak mampu memnuhi seluruh kebutuhan dan keinginan manusia, niscaya berbagai kebutuhan dan keinginan itu akan berbenturan satu sama lain, dan dalam kasus ini pembentukan system ekonomi yang mengatur berbagai kebutuhan dan keinginan itu serta menentukan kebutuhan dan keinginan mana yang harus dipenuhi, menjadi tak terhindarkan.

Islam menolak mengakui semua itu, dan memandang masalah ekonomi dari sisi faktualnya yang memiliki solusi. Dan solusi itu ada dalam firman Allah, “Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rejeki untuk kalian, dan Dia telah menundukan bahtera bagi kalian supaya nahtera itu berlayar dilautan dengan kehendaknya, dan dia telah menundukan (pula) bagi kalian sungai-sungai. Dan Dia telah menundukan (pula) bagi kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar (pada orbitnya); dan telah menundukan bagi kalian malam dan siang. Dan dia telah memberikan kepada kalian (keperluan aklian) dari segala apa yang kalian mohonkan kepadanya. Dan jika kalian menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kalian menghingakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari nikmat (nikmat Allah)” (Q.S. Ibrahim : 32-34).

Setelah menerangkan sunber-sumber kekayaan yang telah Allah anugerahkan kepada manusia, ayat-ayat suci di atas meyakinkan bahwa sumber-sumber kekayaan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia, juga cukup untuk memenuhi segala yang manusia minta (dan Dia telah memberikan kepda kalian (keperluan kalian) dari segala apa yang kalian mohonkan kepada-Nya). Jadi, masalah ekonomi sebenarnya tidak muncul akibat terbatasnya (sumber dan kekayaan) alam atau ketidak mampuan alam dalam memproses kebutuhan manusia. Sesungguhnya masalah ekonomi dimunculkan oleh manusia itu sendiri, yakni dari kezaliman dan keingkaran mereka, sebagaimana dinyatakan dalam bagian akhir ayat di atas (Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari [nikmat Allah]). Kezaliman manusia dalam hal distribusi kekayaan dan keingkaran mereka atas nikmat Allah (dengan semena-mena mengeksploitasi sumber-sumber yang Allah anugerahkan kepada mereka) adalah dua faktor yang menciptakan kesengsaraan hidup bagi manusia sejak awal sejarah. Masal ini dapat diatasi dengan mengakhiri kezaliman dan keingkaran manusia, yakni dengan menciptakan hubungan yang baik antar distribusi dan mobilisasi segenap sumber daya material untuk memakmurkan alam serta menyibak segala kekayaannya.